ENGLISH    |   BAHASA INDONESIA   |   中文

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Dalam wacana untuk seni nasional baru pasca-kolonial setelah kemerdekaan Indonesia, atau sejak zaman PERSAGI (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia), kami mengkaji karya-karya 2 seniman Gregorius Sidharta dan Edi Sunaryo ketika mereka mengungkap idiom visual mereka di puncak modernisme Indonesia.

–  15 patung yang disajikan di sini diperoleh langsung dari seniman sejak tahun 1970-an selama periode 3 dekade. Demikian juga, 8 lukisan karya Edi Sunaryo sebelumnya berada di koleksi prestisius Alex Papadimitriou. –
GREGORIUS SIDHARTA
EDI SUNARYO

Seni dan seniman modern Indonesia selalu memperusahakan tanggung jawab untuk mempertahankan akar tradisi mereka. Seiring perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru, semangat untuk memperkuat budaya lokal dan menjaga kepribadian nasional telah lama menjadi tujuan utama setiap seniman Indonesia.

Dari tahap awal, Gregorius Sidharta (1932 – 2006) mempraktikkan ekspresi kubis dalam lukisannya, dan memimpin tren seni abstrak ketika belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, pada tahun 1950-an. Dia kemudian diberikan beasiswa untuk belajar di Jan van Eyck Academie, Belanda selama 3 tahun oleh misi Gereja Katolik pada tahun 1953. Dikenal sebagai pelopor patung modern, karya-karya Sidharta membuktikan tradisi etniknya yang sangat khas Indonesia.

Pada 1970-an, setelah mengambil posisi dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB), yang ditawarkan oleh temannya But Muchtar, Sidharta menggali lebih dalam lagi eksperimennya untuk teknik grafis yang digambar berdasarkan motif tradisional di sekitarnya. Meskipun dihadapkan dengan serangan balasan dari para formalis Bandung, Sidharta tetap setia pada pengejaran seni demi seni-nya. Sama seperti tekanan politik yang dia alami sebelumnya pada akhir 1950-an – awal 60-an sekembalinya dari Belanda, secara tidak adil dicap sebagai “dipengaruhi orang Barat” oleh Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA) ketika mengajar di ASRI, akhirnya dia dikeluarkan dari ASRI dan hal ini mendorongnya untuk pindah ke Bandung; kita dapat melihat dari karya-karyanya bahwa meskipun ada kekacauan politik, Sidharta tetap setia pada praktik seninya.

G. Sidharta mengerjakan patung Salib, 1959

Image credit: Digital Archive of Indonesian Contemporary Art

G. Sidharta bersama dengan A. D. Pirous, Fadjar Sidik, dan Ahmad Sadali adalah pelopor dalam gerakan Seni Abstrak Modernis di Indonesia.

Manusia Banteng, 1958
47 x 65 x 29 cm

Image credit: Digital Archive of Indonesian Contemporary Art

Diterbitkan pada tahun 1996 dalam buku Modernisme Asia, Manusia Banteng dipilih untuk menggambarkan perkembangan seni modern di Indonesia. Hal ini sangatlah tidak dapat dibayangkan 5 dekade yang lalu, karena pada tahun 1960-an Sidharta diisolasi dari para seniman LEKRA arus utama, karena kecenderungannya untuk abstraksi modern.

 

Wanita Duduk, 1967, 50 x 23 x 15 cm

Menurut Sidharta, dari membuat konsep hingga brainstorming dan akhirnya menggambar pada sketsa, selalu merupakan tarik ulur ketika membuat patung, proses negosiasi dengan alat, bahan, teknik, dan kemampuan tangan seniman.

Karya berjudul Wanita Duduk adalah bentuk deformatif dari sesosok perempuan, namun, dengan bentuknya yang bundar dan organik dari berbagai sudut, mengungkapkan kurva bergelombang dari seorang wanita yang sedang mandi.

Diselesaikan pada tahun 1967 setelah pindah ke Bandung, Sidharta berorientasi pada pengekspresian bentuk-bentuk dasar dan nilai-nilai estetika, geometri konstruktifnya tidak terbatas. Patung ini menyajikan secara mentah kelembutan dan keindahan sosok wanita.

Kepindahan Sidharta ke Bandung pada awalnya sangatlah cocok untuk beliau karena bisa bertemu dengan seniman modernis Bandung yang berpikiran sama di ITB. Namun, tidak lama kemudian dia merasa gelisah dengan pendekatan berulang-ulang terhadap modernisme. Singkatnya, ia mengajukan tawaran untuk melokalisasi ekspresi modern menggunakan teknik grafis.

“Modernisme bukan satu-satunya cara berkesenian” – G. Sidharta (sekitar tahun 1973)

Little Brave, 1982
42 x 21 x 20 cm

Image credit: Digital Archive of Indonesian Contemporary Art

Sidharta beralih ke motif tradisional untuk inspirasi baru. Selama periode ini (1970 – 1984), ia mengadopsi motif yang terlihat dalam ritual-ritual tradisional, batik, pertunjukan tari dan rumah-rumah untuk elemen visualnya. Didorong oleh pola-pola dan ciri-ciri itu, patung-patungnya menjadi lebih primitif dan bergaya dekoratif.

Sikapnya yang tegas terhadap para Formalis Bandung yang gigih telah membuka celah pertentangan, setelah itu, Sidharta memutuskan untuk menghancurkan semua bentuk prinsip seni formatif.

Ibu dan Anak, 38 x 13 x 7 cm

Sebuah patung yang sangat menakjubkan, Ibu dan Anak menggambarkan sesaat ketika seorang ibu menyusui bayinya, menyoroti dia sebagai ibu yang penuh kasih dengan ikatan keibuan yang kuat. Dengan rambutnya diikat menjadi sanggul, sang ibu menggendong bayinya dengan penuh kasih sayang dan perhatian, memberikan kasih sayang yang tulus. Patung ini dengan mudah menampilkan perasaan hangat dari hubungan ibu-anak.

Penari Topeng, 1986, 45 x 13 x 20 cm

Sejak itu, Sidharta menghadapi bentrokan dialektis budaya mistis Jawa dengan jiwa zaman modern. Keduanya bukan kutub dari ujung yang berlawanan, sebaliknya, bersama-sama mereka mewujudkan upaya untuk identitas nasional Indonesia yang sejati.

Liberty, 1987, 34 x 7 x 7.5 cm

Image credit: Digital Archive of Indonesian Contemporary Art

Tangisan Dewi Bathari, 1977

“Modernisme masih menyisakan sense pada saya tentang warna, tekstur, massa, dan garis” – G. Sidharta

Pembangunan Hari Depan, 2004, 149 x 74 x 45 cm

Pembangunan Hari Depan menunjukkan gagasan Sidharta untuk mewujudkan gagasan universal tentang bentuk yang menandakan kehidupan. Penyajian bentuk dicapai dengan pendekatan abstrak figuratif dari dua badan penghubung yang bersatu. Gagasan penyatuan ini bisa bersifat fisik atau spiritual; seperti yin-yang atau dalam budaya Jawa lingga-yoni. Kedua tokoh berdiri dalam soliditas, membentuk komposisi yang mencerminkan satu sama lain secara asimetris, meskipun dengan keseimbangan, ia menghindari penyatuan, secara harmonis mencapai keseimbangan.

Image credit: Digital Archive of Indonesian Contemporary Art

Pembangunan Hari Depan, 1963

Edi Sunaryo (lahir tahun 1951) dipengaruhi  dengan munculnya ekspresionisme abstrak pada tahun 1970-an. Setelah gagal masuk AKABRI, takdirlah yang membawanya hingga akhirnya ia memasuki STSRI Yogjakarta (sekarang dikenal  sebagai ASRI) di departemen seni rupa pada tahun 1972. Edi memperoleh keahlian dalam seni grafis selama masa kuliahnya.

Abstraksi Edi bukan hanya karya garis dan bentuk coretan yang semena-mena ke kanvas. Elemen dasar pola, bidang, warna, dan tekstur ini jika dilihat dalam konteks adalah ekspresi spontanitas dan otomatisme. Singkatnya, ini adalah ekspresi kebebasan, terbebas dari segala kepentingan politik pada zaman itu. Secara simbolis, seperti negara merdeka yang keluar dari perang dingin dan ratusan tahun pemerintahan kolonial, ada batas tak terbatas yang menunggu untuk dibina oleh generasi muda.

Dalam pameran ini, kami menyajikan 8 karya Edi Sunaryo yang merupakan bagian dari koleksi Alex Papadimitriou yang paling beragam. Dari seri ini, kita dapat membayangkan bahwa setiap lukisan ini adalah yang dipilih sendiri dari studio seniman oleh salah satu kolektor seni terbesar dalam sejarah modern Indonesia.

Ragam Keindahan, 1998
119 x 98.7 cm

Image credit: Digital Archive of Indonesian Contemporary Art

Terlepas dari seniman yang berkiprah di Yogyakarta pada dekade 1970-an, seperti Affandi dan Nyoman Gunarsa, yang menguraikan dinamika seni dari orang-orang, Edi mengadopsi kreativitas skematis.

Mensintesis penggunaan bentuk-bentuk geometris dan warna-warna tropis Indonesia, abstraksi Edi pada pandangan pertama adalah purba. Bentuknya yang tidak beraturan tampak seperti pembuatan tanda dan motif tradisional yang dipecah menjadi bentuk yang paling sederhana.

Melalui struktur bidang, ruang, dan warna, Edi mengembangkan abstraksi simbolis kosmik dengan lukisan-lukisannya. Simbol-simbol hias ini berasal dari isyarat visual seperti alam dan intuisi.

Tekstur kasar ditumpangkan dengan bentuk-bentuk geometris dan pergerakan ruang pada kanvas. Ruang kosong yang secara sadar dibiarkan di atas kanvas, bermain dengan gagasan ruang negatif yang tak terlihat, semakin menonjolkan gaya lukisan semantik primitif. Dalam karya-karyanya, Edi cenderung tidak melukis dengan detail, apalagi menhaluskan finishnya. Malahan, ia merespons fluiditas cat minyak yang ada di kanvas dan mengeksplorasi kemungkinan bentuk dan gerak tubuh.

Previous
Next

Karya-karya Yang Tersedia

GREGORIUS SIDHARTA
Pembangunan Hari Depan (Development of Future), 2004
Bronze
149 x 74 x 45 cm

GREGORIUS SIDHARTA
Happy Family, 1999
Bronze
33 x 15 x 10 cm

Sold

GREGORIUS SIDHARTA
Wanita Duduk (Seated Lady), 1967
Bronze
50 x 23 x 15 cm

Sold

GREGORIUS SIDHARTA
The Champion, 1982
Bronze
42 x 21 x 20 cm

GREGORIUS SIDHARTA
Ibu dan Anak (Mother and Child), 1982
Bronze
38 x 7 x 13 cm

GREGORIUS SIDHARTA
Manusia Banteng (Bull Human), 1958
Bronze
47 x 29 x 65 cm

Sold

GREGORIUS SIDHARTA
Liberty, 1987
Bronze
34 x 7 x 7.5 cm

Sold

GREGORIUS SIDHARTA
Ayam Jantan (Rooster), 1991
Bronze, edition 4 of 5
45 x 17 x 30 cm

GREGORIUS SIDHARTA
Sejoli (Lovebird), 2004
Bronze, edition 4 of 7
70 x 25 x 16.5 cm

GREGORIUS SIDHARTA
Penjual Bunga (Flower Seller), 1986
Bronze
38 x 19 x 14.5 cm

GREGORIUS SIDHARTA
The Little Brave, 1999
Bronze
25 x 28 x 9 cm

GREGORIUS SIDHARTA
Penari Topeng (Mask Dancer), 1986
Bronze
45 x 13 x 20 cm

GREGORIUS SIDHARTA
Hugging, 1999
Bronze
44 x 14 x 13 cm

GREGORIUS SIDHARTA
Ayam Jantan (Rooster), 1991
Bronze, edition 3 of 5
45 x 17 x 30 cm

GREGORIUS SIDHARTA
Ayam Jantan (Rooster), 1991
Bronze
18.5 x 30 x 16.5 cm

EDI SUNARYO
Piramida (Pyramid), 1993
signed and dated 1993 lower right
Oil on canvas
105 x 90 cm

Sold

EDI SUNARYO
Ragam Keindahan (Beauty in Diversity), 1998
signed and dated 1998 lower right
Oil on canvas
119 x 98.7 cm

EDI SUNARYO
Keramaian Kota (The City Crowd), 1988
signed and dated 1988 lower right
Oil on canvas
90 x 105.5 cm

EDI SUNARYO
Rimbun (Lush), 1982
signed and dated 1982 lower right
Oil on canvas
70 x 70 cm

EDI SUNARYO
Lentera Kuning (Yellow Lantern), 1987
signed and dated 1987 lower right
Oil on canvas
105 x 90 cm

Sold

EDI SUNARYO
Keragaman (Diversity), 1988
signed and dated 1988 lower right
Oil on canvas
70 x 70 cm

EDI SUNARYO
Persona Abstract (Abstract Enchantment), 1988
signed and dated 1988 lower right
Oil on canvas
105.5 x 90 cm

EDI SUNARYO
Ritme (Rhythm), 1981
signed and dated 1981 lower right
Oil on canvas
105 x 90 cm

Mempertimbangkan Bentuk: Gregorius Sidharta & Edi Sunaryo

Pameran Online (27 July – 14 Agustus 2020)

Hubungi tim kami untuk mengatur private viewing di Jakarta 

Teks: Sui Chen
Penerjemah: David Fu
Design Situs: Sui Chen

Specialist:
Karyadi Suwarno (Jakarta@33auction.com)
David Fu (David.Fu@33auction.com)
Sui Chen (SuiChen@33auction.com)

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
+62 811-881-133 Indonesia
+65 6747 4555 Singapore
asian.mca@33auction.com