Women Artists:
At the Edge of Visibility

5 – 30 Sep, 2020

Online Exhibition

EN  |  中文

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Teks oleh: Sui Chen
Terjemahan: Nakita Juwana

Specialist: David Fu, Sui Chen
Email: asian.mca@33auction.com
Tel: +65 6747 4555

Private viewing di Singapura dengan temu janji saja.
Alamat:
215 Henderson Road #01-05
Singapore 159554
Hari Senin – Jumat: jam 10 pagi – 6 petang
Hari Sabtu dan Minggu: temu janji saja

Apakah wanita harus telanjang untuk masuk ke Museum Met(ropolitan)?” – oleh Guerrilla Girls yang diterbitkan pada tahun 1989 

Sering sekali, kita bimbang untuk membahas topik mengenai kurangnya representasi wanita dalam masyarakat, dan beranggapan bahwa mereka adalah suara-suara yang tertindas. Tentu, wanita tidak pernah mendapat perhatian serius, khususnya, dalam dunia seni yang sangat didominasi oleh pria, terkadang berpotensi chauvinistik ini. Tidak peduli apakah itu pembuatan seni atau ahli seni, wanita tentu saja berada dalam situasi yang sangat menantang untuk dianggap serius.

Para seniman yang dihadirkan dalam pameran ini, Han Sai Por, Chng Seok Tin, Hong Sek Chern adalah beberapa contoh seniman wanita dengan gaya seni mereka yang berbeda, memetakan batasan baru terhadap seni modern di Singapura pada abad ke-21. Kurangnya visibilitas kelembagaan ataupun kritik mengenai karya mereka tidak menyesali ekspresi mereka sebagai inferior dibandingkan seluruh pria sezaman mereka. Apakah ini berarti seniman wanita tidak menghasilkan seni yang cukup baik?

Cukup untuk mengutarakan, dalam pameran ini, kami memamerkan karya-karya terlebih yang dibuat antara tahun 70-an hingga 90-an, zaman ketika Singapura menguraikan beberapa kampanye publik sebagai bangsa muda, beberapa contoh seperti; Stop-at two or even one (1972), The Graduate Mothers Scheme (1984), Have three or more, if you can afford it (1987). Kampanye tersebut mungkin belum dapat dipastikan, tetapi tidak dapat disangkal bahwa mereka dengan efektif memberikan wanita lebih banyak peluang daripada sebelumnya, dalam aspek pendidikan dan profesi, namun,  seniman wanita sebagai suatu profesi terjebak dalam bayangan sejarah modern; dan masih terabaikan dan kurang diapresiasi.

Oleh karena itu, pameran ini akan berfokus pada material dan metode bagaimana setiap lukisan dan patung di sini dibuat. Sesungguhnya, kita tentunya tidak menginginkan pameran ini menjadi sebuah aksi pemberian tanda belaka bagi seniman wanita, terlebih dengan mengorbankan seni pahat dan lukisan mereka.

Kita akan memulai dengan pertama melihat pada gaya lukis Lai Foong Moi akan penggambaran ‘What’s before us?’ – the landscape; diikuti dengan pengamatan objek yang lebihh mikroskopik seperti The Seed oleh Han Sai Por, dan disimpulkan pada akhirnya, ketika kita mulai melihat ke atas kepada The Universe and to Science by Lin Hsin Hsin. Lebih kritis lagi, mari melihat mereka hanya sebagai seniman yang menciptakan karya-karya spektakuler; dan semoga dapat memperkuat cara mereka direpresentasikan.

Toggle to view available works
Lai Foong Moi, Singapore River, circa 1970s
78 x 108 cm, oil on canvas

Lai Foong Moi (1931 – 1994)

Lahir pada tahun 1931 di Malaysia, pada era di mana hanya sedikit yang pernah berpikir untuk berhijrah ke Barat untuk pendidikan, Lai Foong Moi telah berhasil mendapatkan beasiswa dari pemerintah Prancis untuk masuk L’Ecole Nationale Superieure des Beaux Arts. Ia kembali ke Singapura pada tahun 1958, dengan gaya melukis yang ia pelajari di Paris, dan membuka sejarah seni Singapura untuk peran penting mengajarnya di NAFA, meneruskan ilmunya kepada banyak seniman generasi kedua dan ketiga.

Palet kegembiraan yang digunakan untuk menggambarkan sampan yang berlabuh menunjukkan infus halus akan sentimen sensitif Lai ke Sungai Singapura.

Wanita Samsui yang sedang memuat karung bahan pokok di Sungai Singapura adalah sebuah pandangan yang umum. Meskipun Lai menggunakan gaya post-impressionisme, ia tidak pernah memilih untuk menggambarkan wanita yang menggoda dan patuh di dalam karya-karyanya. Sebaliknya, Lai sangat dikenal dengan menggambarkan wanita Samsui di dalam lukisannya. Apa yang tidak digambarkan adalah yang paling menonjol. Sungai Singapura yang dilukiskan dengan tidak adanya para buruh di sekitar perahu makmur ini, merupakan penghargaan yang menggembirakan kepada segala kontribusi yang dibuat oleh pahlawan wanita tanpa tanda jasa.


Han Sai Por (b. 1943)

“Dalam seni pahat saya, saya suka menggambarkan kehidupan dan alam… untuk menciptakan bentuk yang murni dan penting, daripada sekedar imitasi akan alam. Saya menginginkan patung saya memiliki suatu kekuatan atau kehidupan batin yang berjuang untuk keluar” – Han Sai Por

Bukanlah suatu pernyataan berlebihan jika Han Sai Por adalah pematung raksasa terbesar di Asia. Han biasanya bekerja dengan batu keras, baja tahan karat dan telah menyelesaikan banyak pekerjaan instalasi umum di dalam dan luar negeri. 

Setelah lulus dari kursus seni paruh waktu di NAFA pada tahun 1977 dan telah menabung cukup uang untuk pendidikan lebih lanjut, ia bersekolah di East Ham College of Art di Britania Raya pada tahun 1978 dan kemudian Wolverhamptom College of Art dari tahun 1979 hingga 1983, sambi bekerja sebagai pelayan, koki dan pembantu hotel untuk menyokong dirinya selama 4 tahun di Britania Raya.

Han Sai Por, Flora Series 15, 2015
36 x 28 x 16 cm, marble

Han Sai Por, Seed Series, circa 1990s
55 x 30 x 28 cm, green granite

Han Sai Por, Seed Series, 2008
25 x 25 x 30 cm, pink granite

3 Patung yang dipamerkan di sini adalah bagian dari serial Seed and Flora, mereka merefleksikan minat lamanya akan alam. Dilihat dari bentuknya, karya-karyanya banyak diasosiasikan dengan alam, memberi rasa kekuatan primordial vitalitas, kelangsungan hidup dan energi penyembuhan. Mereka dibuat dalam bentuk sederhana, selalu organik dan solid. Saat kita mundur dari kejauhan, batuan monolitik ini secara alami bergabung dengan pemandangan dengan mudah menjadi bagian dari sekitarnya. Seketika, struktur tersebut memiliki bentuk totem ini ketika memancarkan ketenangan kepada penonton.

Pelatihan Han memiliki fokus tunggal, yaitu massa dan volume. Jauh dari kekuatan dan ketahanan diperlukan untuk dibentuk dengan sendiri dari awal hingga akhir, karya-karyanya sederhana secara provokatif. Volume sensual dan kehalusan yang tenang didapatkan, ironisnya, dengan susah payah diukir, diampelas dan digosok dari material paling keras yang dapat imajinasikan. Pahatan Han dalam bentuk organik akut dan dimensi taktil, gagasan abstrak yang nyata tentang hubungan spasial antara alam dan penghuninya.

Secara tradisional, patung – sebuah objek di ruang, memerlukan stamina besar dari sang pencipta. Bentuk gestural Han yang dipahat dari banyak batu merupakan bukti tekadnya untuk keluar dari tradisi yang telah diterima tentang peran wanita di masyarakat

“Jangan anggap saya sebagai tukang batu di sebuah tambang; tidak sesusah itu. Saya sebenarnya adalah seniman yang cukup bahagia. ” – Han Sai Por

Artist at work
Image credit: Han Sai Por and National Gallery Singapore

Chng Seok Tin (1946 – 2019)

Permulaan Chng dalam seni grafis dimulai dari ditolaknya ia dari Birmingham College of Art. Meskipun tidak berhasil, beberapa bulan kemudian, Chng menerima surat anonim dari seorang yang tidak dikenal yang mengakui potensinya dalam mengejar seni setelah melihat portofolio penerimaan untuk Birmingham. Ia mendorong Chng untuk tidak kecewa dan harus terlebih dahulu mencoba mendaftar kursus seni dasar di St. Martin’s School of Art di London. Orang asing tersebut kemudian dikenal sebagai seniman Singapura Tand Da Wu.

Setelah lulus dari St. Martin pada tahun 1976, Chng diberikan penghargaan Study Award oleh Lee Foundation dan ia kemudian bergabung dengan Hull College untuk edukasi yang lebih tinggi di mana ia memperoleh gelar sarjana seni rupa bagian seni grafis. Kemudian, ia menjadi penerima Cultural Foundation Award pertama dan melanjutkan perjalanan edukasi pascasarjana di Hornsay College of Art in UK pada tahun 1980. Seorang penjelajah antusias, Chng pergi ke luar negeri sekali lagi ke Paris di Atelier 17 untuk mempelajari pencetakan intaglio, sebelum pindah ke New Mexico State University (1983) dan University of Iowa (1985), memperoleh 2 gelar magister di seni grafis.

CST
Chng Seok Tin with her hand-made silkscreen robe, 1985
surrounded by part of her works
image credit: National Musem Art Gallery, Singapore
Chng Seok Tin, The Melody of Metropolitan, 1985
35.5 x 49 cm, lithography
edition: 2/8

Chng Seok Tin, No Exit I, 1985
35.5 x 49 cm, lithography
edition: 2/3

Seni grafis Chng dimulai dengan inspirasi  yang diambil dari lingkungannya, ketika ia berada di New Mexico, arsitektur adobe kota tua dengan gaya pueblo yang terbuat dari batu bata kering berwarna lumpur yang menonjolkan warna untuk setiap jendela yang kemudian membawanya ke awal serial I-Ching. Chng kemudian nantinya menghadapi musim yang penuh warna dan geografi surgawi di Iowa yang menginspirasinya kepada serial Water. The Melody of Metropolitan, menggambarkan pemandangan Iowa yang hampir seperti fantasi dan mimpi. Meskipun begitu, Chng mendeskripsikan mereka bukanlah seperti mimpi yang penuh harapan, tetapi, mereka adalah mimpi tragis. Serial ini kemudian membawanya kepada lanjutan serial “Floating World” dengan karyanya termasuk, No Exit I.

Detail: The Beauties, Maple Fantasy, Skyscape

Jika kita melihat dengan saksama beberapa monoprint/monotype nya (The Beauties, Maple Fantasy), mereka juga merupakan metode seni grafis yang ia mulai jelajahi pertama kali di akhir tahun 1980an. Chng membuat gambar – gambar ini dengan menempatkan kertas di atas objek dan tekstur yang ditemukan, mengoleskan tinta dan menatah tanda-tanda tersebut ke atas kertas dengan pencetak. Disatu sisi, setiap cetakan itu unik dan Chng menggunakan teknik kuasi-otomatisme. Dari hasil cetakan, ia kemudian kembali lagi dan secara selektif menambah beberapa detail untuk mentransformasi apa yang tadinya pola inert menjadi gambaran kreatif.

Setelah kembali dari Iowa, gaya hidup klaustrofobia di Singapura dan kejatuhan yang tidak terduga di mana menghilangkan sebagian dari penglihatannya, memotivasinya dengan serial Concrete Jungle. Perbedaan emosional menjadi metafora visual dalam karyanya. Bangunan arsitekturnya adalah gedung pencakar langit yang ia liat sebagai tangga, seperti ia mendaki tebing kesakitan dan menderita selagi ia lanjut mengeksplorasi dunia dengan matanya yang kabur.

Dalam seni grafis, komposisi dikembangkan secara bertahap. Chng bekerja dengan beragam teknik grafis seperti lithography, etching, and drypoint. Prosesnya dimulai dengan mengerjakan pelat tembaga, kemudian ia mengukir permukaannya, dan mengoleskan tinta di area yang tersembunyi, setelah itu ia mencetaknya, dimana tinta yang tersisa di area tersembunyi tersebut ditransfer ke atas kertas. Chng kemudian memeriksa lembaran kertas dan merapikan pelat tersebut untuk dicetak lagi. Dalam proses ini, beberapa cetakan adalah bukti percobaan dari keadaan yang berkembang sebelum ia menyempurnakan komposisi akhir di mana ia memutuskan untuk diterbitkan dalam sebuah edisi. Biasanya, edisi sebuah percetakan selama keadaan berkembang yang dinamakan dengan W/S (working state), T/P (Trial Proofs) atau A/P (Artists proofs).

Ho E Moi, Path to Enlightenment
42.5 x 48 cm, etching
edition: 15/30

Ho E Moi

“Dalam perjalanan saya ke Tibet pada tahun 2003, saya mengunjungi sebuah pura yang sangat tua dan melihat ‘jejak kaki’ dari Master Atisa. Saya sangat terinspirasi dari jejak kaki tersebut dan itulah yang mendorong saya untuk memulai perjalanan menuju kebijaksanaan dan pencerahan.” – Ho E Moi

Dibimbing oleh seniman pelopor Cher Cheng Ling, Ho pertama mempelajari lukisan tinta Cina sebelum pelatihannya ke seni barat di NAFA. Sebagai seorang anggota aktif dalam Perkumpulan Cetak, Ho sering menggunakan seni grafis sebagai suatu cara untuk mendokumentasikan perjalanannya ke seluruh dunia. Tidak seperti lukisan Cina atau Barat di mana sang seniman melukis langsung ke atas kertas atau kanvas, Ho lebih tertarik kepada metode semi-otomatisme. Ini merupakan sebuah proses yang kompleks dan memerlukan kesabaran, setelah banyak percobaan baru dapat mendapatkan hasil cetakan yang indah dan membangkitkan semangat.

Hong Sek Chern (b. 1967)

Hong Sek Chern pertama kali berlatih seni di NAFA lalu di Goldsmiths College, lulus dengan gelar magister seni rupa pada tahun 1988.

Kagum dengan dimensi spasial dan vertikal gedung pencakar langit di Singapura, membuat Hong melihat mereka seperti monumen dari keberadaan manusia. Ia mengembangkan kosa kata ini ketika melihat perancah dan traktor besar sekitar kota. Menurut ia, Singapura adalah sebuah produk yang sedang berlangsung, di mana sebagian besar lokasi dan ruang secara konstan dalam perbaikan.

Seperti yang kita lihat dalam eksekusi Hong, itu adalah melakukan, menghapus dan mengulang. Pertama, ia melukis gambar dari beberapa lokasi, lalu “memotong” bangunan tersebut, diikuti dengan merekonstruksi ulang kembali. Dengan kata lain, ia menggabungkan ruangan ini menjadi sebuah kapal seperti pesawat ruang angkasa, The Payloads, seperti gulungan, memetakan interpretasinya tentang lanskap Singapura.

Hong Sek Chern, The Payloads
106 x 106 cm, chinese ink, gouache on rice paper

Lin Hsin Hsin (b. 1952)

“Science is the governor of Art” – Lin Hsin Hsin

Lin Hsin Hsin is an abstract artist but was never closely fitted into this category. Lin explored various artistic styles, from her earlier works which attains strong influence of her tutor Cheong Soo Pieng to the 80s oeuvres as exhibited here, we see her right at the point of entry between abstraction and constructivism.

Lin Hsin Hsin, Untitled, 1982
127 x 86.5 cm, oil on canvas

From initial examination, Untitled, 1985 looks like a non-objective abstract painting but as we pause longer, there is certainly a structure. Lin’s vocabulary develops from her inclination to visualize uncomprehending subjects of greater dimension like science and technology, the universe and even subjects like mathematics. Unlike, pioneer artists who abstracts from real scenes of Kampong landscape into simple forms – a reductive abstraction method; Lin works in the reverse way, by inventively adding interpretation of abstract matters onto her paintings.

Lin Hsin Hsin, Untitled, 1985
87.5 x 128.5 cm, oil on canvas

This painting titled Man & His Universe: Earth Panorama, painted in 1982, which looks deceptively like watercolours, marks a period when she was aggressively exploring the limits of oil medium. From the canvas, by manipulating the oil paint, she leaves no paint marks, and realizes translucency similar to that of watercolour, forgoing the chance to leave any paint brush marks, it becomes very sensual approach to painting.

Lin’s marks on canvas are soft, fluid and gradational, when we get up close to the painting, we will realize that paint is applied thinly and slowly absorbed into the canvas. Her paint becomes so translucent that she probably stained the same area over a few different application of paint.

As we conclude, At The Edge of Visibility shares, about just a few women artists who are perhaps off the radar or need more recognition than they already have for how they have navigated as well as charted their own ideas and creative pathways.

Lin Hsin Hsin, Man & His Universe: Earth Panorama
82 x 162.5 cm, oil on canvas